Bisa dibayangkan, berapa miliar biaya bagi hasil (istilah biaya shering) itu didapat oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pelindo Bima, dari hasil bongkar muat yang diperkirakan ratusan ribu ton pertahun.
"Aktifitas bongkar muat hasil komoditas jagung saja mencapai 300 ribu ton pertahun. Coba bayangkan 300 ribu ton dikali Rp 2.071, totalnya mencapai Rp 6 miliar lebih. Dan itu belum termasuk Cargo pupuk, semen dan sejumlah barang-barang lainnya," ungkapnya.
Atas dasar itu, APBMI Cabang Bima menolak adanya KSP BMN di terminal 1 Pelabuhan Bima diambil alih pengelolaanya oleh PT Pelindo.
Sejalan dengan penolakan tersebut, APBMI Bima memberikan pandangan alternatif, jika Terminal 1 Pelabuhan Bima yang semula dikelola langsung KSOP dan kini mau diserahkan ke Pelindo Bima, maka mereka minta agar biaya shering untuk dihapus di komponen tagihan PT.Pelindo ke pengguna Jasa di Pelabuhan Bima atau ditiadakan lagi.
"Jika semua terminal Pelabuhan Bima dikelola oleh PT Pelindo, pasti sangat memberatkan pengguna jasa dan akan berdampak ke harga jual bahan pokok di masyarakat. Sebab di Dermaga KSOP kita hanya membayar PNBP sebesar Rp 1.850 per ton. Sedangakan kalau sudah di KSP kan di PT Pelindo maka kami akan membayar 4 kali lipat yakni Rp 7.397 Perton, yang mana selisih nya kenaikan sebesar 400 Persen," kesalnya.
Editor : Edy Irawan
Artikel Terkait